***
“Mas, boleh aku duduk di sini“ pintanya waktu itu sambil tersenyum.
“Boleh“ jawabku singkat . Belum sempat aku melempar senyum, dia, gadis cantik
berjilbab abu-abu itu sudah buru-buru
meletakan tas punggungnya di kursi sebelah tempat aku duduk. Kebetulan, satu-satunya tempat duduk yang masih kosong hanya ada di sampingku. Itulah awal mula pertemuanku dengannya.
Hari itu adalah perjalananku kembali ke kota
Semarang. Di tengah perjalanan itulah, aku mendapatkan inspirasi untuk aku
bagikan lewat tulisanku kali ini - segala percakapan dalam tulisanku kali ini
sudah disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan-. Aku berjumpa dengannya saat
bus ekonomi jurusan Puerwokerto-Semarang
yang aku tumpangi baru saja memasuki kawasan Kabupaten Purworejo.
Kebetulan ia juga satu tujuan denganku, kami sama-sama menuju kota Semarang.
Oia, hampir lupa mengenalkan gadis cantik itu. Dia, Dian namanya. Sama denganku, saat itu Dian juga sedang menempuh kuliah di Kota Semarang.
Bedanya, dia kuliah di perguruan tinggi swasta, sedangkan aku di perguruan
tinggi negeri, Undip. Kalo tidak salah ia mengambil Jurusan Hubungan International. Pada awal perkenalan, aku mengira bahwa Dian lebih tua
dariku. Gestur tubuhnya memperlihatkan bahwa ia lebih dewasa dariku.
Tapi aku keliru. Ternyata ia satu tahun lebih muda dariku.
Dari perkenalan kami itu, aku jadi tahu bahwa dia adalah seorang
santriwati. Alumni salah satu pondok pesantren di Jawa Timur. Dian juga
bercerita bahwa tahun lalu dirinya pernah mewakili almamternya menghadiri
konverensi international di Kuala Lumpur. Bertemu dengan pemuda dari berbagai
belahan dunia, membicarakan isu global warming. Selain lancar menggunakan Bahasa
Arab, dia juga lumayan lancar berbicara menggunakan Bahasa Inggris. Wah hebat
batinku. Banyak sekali pengalaman yang ia ceritakan padaku, sebagian besar
membuatku 'iri' padanya.
Sesekali
obrolan kami terhenti saat kami harus menyodorkan uang receh kepada pengamen atau
menolak jajanan yang ditawarkan oleh para pedagang asongan. Pada sebuah momen,
akhirnya obrolan kami tiba pada obrolan yang sifatnya sensitif. Kami berdiskusi
terkait masalah yang banyak dialami remaja. Apa itu ? cinta ( woow ).
Semua
bermula saat dia sedang bercerita tentang aktivitasnya di kampus, tiba-tiba
saja ada panggilan masuk ke handphonenya. Pada saat menerima telepon itu, ia menunjukan raut wajah sedih. Pada akhirnya, aku tau kalo yang baru saja
menelponnya adalah pacar Dian. Dian yang memberitahuku. Aku gak tau mengapa Dian
waktu itu begitu terbuka padaku, padahal itu kali pertama dia jumpa denganku. Begitu
lepasnya dia menceritakan unek-unek tentang pacarnya. Meski apa yang ia ceritakan
tidak begitu intim atau pribadi, tapi bagiku tetap saja itu terlalu berlebihan. Hemm..
sebenernya waktu itu aku begitu risih harus mendengarkan hal-hal semacam itu.
Namun, pada akhirnya aku tertuntut untuk menanggapi beberapa unek-unek dan
pertanyaannya. Aku jawab sekenanya dan sewajarnya. Pertanyaanya masih terus
mengalir. Hingga akhirnya, tiba pada pertanyaan yang sebenarnya sudah biasa,
tapi selalu membuat aku tergelitik. Pertanyaan yang membuat diskusi semakin
hidup dan menarik.
“Kalo pacar mas nurmansyah orang mana ?” tanyanya dengan begitu polos.
Aku
tersenyum setengah tertawa “ah, aku gak punya pacar, hehe“.
“benerannn
? ahh.. jangan boong. atau jangan-jangan lagi galau juga sama kaya aku ya mas ?“ kali ini Dian bertanya sambil sedikit
meledek.
Sampai
di sini aku terdiam sejenak. Bingung mau jawab apa. Bingung mau ngomong dari
mana. Lima detik pertama aku masih sibuk mencari jawaban. Lima detik kedua,
akhirnya aku bersuara “memangnya kalo cowok seumuran aku, harus pacaran ya ?“ belum sempat Dian
menimpali dengan jawaban, aku sudah nyrocos lagi ”Aku gak sepakat dengan
hal-hal yang demikian, pacaran is not my way, menurutku pacaran itu gak
penting, apapun tujuannya”.
“lho
mas, pacaran itu banyak tujuannya lho“ kali ini Dian mulai bersuara lagi “dengan
pacaran, kita bisa memberi semangat satu sama lain, kita juga bisa saling
mengingatkan dalam hal kebaikan kepada pacar kita, mengingatkan untuk sholat,
mengingatkan puasa, dan sebagainya.. dengan pacaran, kita juga menjadi tahu
karakter cowok yang akan menjadi calon suami kita“ Dian mulai mendebat.
Mendengar
apa yang ia ucapakan, aku hanya tersenyum. Dian menungguku memberi taggapan. Aku pun
mulai mengatur diri, mencari-cari kata yang pas untuk memberi jawaban.
“begini....“ aku mulai berbicara dengan nada
serius “untuk saling memberi
semangat, untuk memberi motivasi, untuk bisa saling mengingatkan dalam kebaikan apakah harus terikat dalam hubungan pacaran ? gak kan...?“.
“emm.. iya juga sih, gak harus terikat dalam hubungan pacaran, tapi kalo yang mengingatkan itu pacar kita, rasanya kan beda mas, rada gimana gitu.. hehee“ jawab Dian, merespon statementku sebelumnya.
“lho justru itu yang berbahaya.. 'beibs yuks besok kita puasa sunnah, beibs ntar malem aku misscall kamu ya buat ngingetin sholat tahajud', dsb.. mungkin hal-hal semacam itu seolah-olah kita sedang mengingatkan kebaikan kepada pacar kita, padahal mungkin tanpa kita sadari, dalam lubuk hati terdalam sebenarnya kita mengharapkan sanjungan atau pujian.. ingin disebut bahwa kita itu adalah pacar yang alim, yah jadilah ria!! ingat.. sangat tipis beda antara ikhlas dengan ria... kalo sudah seperti itu, malah jadi mudhorot bukan?” Aku sedikit melirik ke arah Dian, dia hanya megangguk-ngangguk ringan.
“emm.. iya juga sih, gak harus terikat dalam hubungan pacaran, tapi kalo yang mengingatkan itu pacar kita, rasanya kan beda mas, rada gimana gitu.. hehee“ jawab Dian, merespon statementku sebelumnya.
“lho justru itu yang berbahaya.. 'beibs yuks besok kita puasa sunnah, beibs ntar malem aku misscall kamu ya buat ngingetin sholat tahajud', dsb.. mungkin hal-hal semacam itu seolah-olah kita sedang mengingatkan kebaikan kepada pacar kita, padahal mungkin tanpa kita sadari, dalam lubuk hati terdalam sebenarnya kita mengharapkan sanjungan atau pujian.. ingin disebut bahwa kita itu adalah pacar yang alim, yah jadilah ria!! ingat.. sangat tipis beda antara ikhlas dengan ria... kalo sudah seperti itu, malah jadi mudhorot bukan?” Aku sedikit melirik ke arah Dian, dia hanya megangguk-ngangguk ringan.
“pun
demikin saat kita diingatkan tentang kebaikan oleh pacar kita, begitu
semangatnya kita beribadah kalo yang ngingetin itu pacar kita, tapi berbeda sikap ketika yang ngingetin buat puasa sunah atau sholat tahajud itu orang lain..
yah jadi gak ikhlas deh ibadahnya. Bukan karena Allah lagi, tapi karena pacar
kita. Yah jadi mudhorot lagi deh..”
“jika
memang menurutmu pacaran bertujuan untuk mengetahui sifat atau karakter pacarmu
nanti, aku tetap kurang sepakat. Coba kamu perhatikan remaja-remaja sekarang
yang sedang kasmaran, yang sedang menikmati indahnya cinta monyet. Sebagian
besar dari mereka, baik cowok maupun cewek hanya akan menunjukan hal-hal baik
tentang diri mereka saja, mereka akan merasa malu jika kekurangan dalam dirinya
diketahui oleh pacarnya, jarang sekali ada orang yang benar-benar terbuka pada
pacarnya. Bukankah agama kita
sudah mengajarkan bagaimana proses yang dihalalkan. Ta’aruf bukan ? banyak kok
buku-buku bacaan Islami yang menjelaskan masalah-masalah seperti ini, dan
semuanya bikin adem.“
Saat
itu aku tahu, bahwa diskusi menjadi milikku. Waktu
itu aku jelaskan padanya bahwa aku itu bukan cowok yang sepakat dengan hal-hal
demikian. Pacaran is not my way. Jadi, aku jawab aja ke dia dengan tegas bahwa
seandainya aku menjadi Dian, aku tidak akan pacaran. Apa yang aku sampaikan
pada Dian waktu itu, beberapa aku ambil refrensi dari buku Islami, kajian
kampus dan juga dari hasil diskusi dengan teman.
“Pacaran itu, ibarat kita mendekati kereta
api. Jika kamu takut tersambar oleh kereta yang sedang melaju kencang maka
jangan mendekatinya. Jangan coba-coba untuk berdiri di tepi rel yang sedang
dilewati kereta. Jika kamu ingin menaiki kereta itu, maka naiki saja. kamu
harus berani menaikinya dengan cara yang legal, menaikinya dengan cara yang
halal, jangan hanya sekedar melihatnya atau mendekatinya saja. Berbahaya. Sekali lagi, berbahaya.
Bagaimana cara menaikinya? Tentu dengan
membeli tiket di stasiun kereta api terlebih dahulu, agar kamu terdaftar
sebagai penumpang yang legal, terdaftar sebagai penumpang yang halal. Tiket itu
ibarat sebagi surat nikah ( tiket nikah ). Untuk saat ini, apakah kamu sudah
berani menaiki kereta itu dengan cara
yang legal? apakah kamu sudah siap menikah? jika belum siap, kenapa kamu harus
mendekati kereta yang jelas-jelas justru membahayakan dirimu sendiri. Bukankah
Allah sudah menyeru kepada umatnya untuk tidak mendekati zina.. Walaa taqrabuzzina, dan janganlah kamu mendekati zina. Bukankah pacaran juga mendekati zina
? Bukankah kejadian hamil diluar nikah yang dialami kebanyakan remaja bermula dari pacaran? dari pada sibuk mendekati kereta yang sama sekali tidak
ada manfaatnya, kenapa kamu tidak menyibukan diri untuk membekali diri agar siap
membeli tiket suatu saat nanti “
Dian
masih mendengarkanku dengan tenang. Aku berhenti sejenak, sedikit mengatur
nafas, lalu melanjutkan kembali penjelasanku
“menurutku pacaran itu hanyalah
hubungan fana yang akan membuang waktu saja, menghabiskan uang untuk makan,
nonton, jalan bareng dsb. Bukankah alangkah lebih baik jika uang itu digunakan
untuk hal lain yang jauh lebih bermanfaat, atau ditabung untuk persiapan
lamaran suatu saat nanti.” Sampai disini aku berhenti sejenak. Berhenti karena
melihat Dian menutup mulutnya menahan tawa. Mungkin karena dia mendengar kata
“lamaran”.
Aku
mengatur nafasku lagi, lalu aku lanjutkan kembali
“Seandainya aku menjadi pacarmu, tentu sudah
aku putuskan kamu dari dulu”. Kali ini Dian benar-benar tertawa, pun demikian denganku. Hahaaha
“akan aku
katakan padamu bahwa aku takut. Aku takut kalo hubungan pacaran ini akan
membawa ketidaknimatan dalam menikah, gak ada yang special, gak ada yang WOWW
lagi, gak ada yang seru lagi karena sebagian rasa cinta yang memudar karena
termakan waktu, termakan oleh aktivitas yang tidak penting dalam hubungan
pacaran. Aku takut setan akan menjerumuskan hubungan pacaran. Imanku masih
lemah. Berhentinya hubungan
pacaran, bukan berarti sebuah kemunduran, namun menurutku itu justru adalah
kemajuan melangkah. Dengan berhentinya pacaran, uang bisa ditabung,
waktu bisa difokuskan untuk hal-hal yang bermanfaat, dirimu semakin banyak
waktu untuk belajar memasak, belajar menjadi istri shalihah, belajar cara
mendidik anak menurut sunnah rasul. Pun demikian dengan si cowok. Si cowok akan
memiliki lebih banyak waktu untuk belajar menjadi imam yang baik bagimu suatu
saat nanti. Belajar untuk semakin memperkuat iman. Memperbanyak ilmu, bukan
memperbanyak waktu telepon, lalu mengobral kata-kata kosong”
“Bukankah lelaki yang baik itu untuk wanita yang baik pula. Kenapa untuk
mencari lelaki atau wanita yang baik harus dengan pacaran, menjelajahi dari wanita yang
satu ke wanita yang lain. Jika tidak cocok dengan si A ganti dengan si B, tidak
cocok dengan B ganti dengan C, dan seterusnya. Hingga akhirnya, sebelum
mencapai tujuan yang hakiki, justru malah terjerumus ke hal-hal negatif yang
dilarang agama. Haruskah kita mengikuti trend remaja masa kini ? haruskah kita
malu dibilang primitif, dibilang gak laku, dibilang jomblo ? Yakinlah, bahwa
Allah SWT itu maha adil. Jika kamu mengharapkan lelaki yang baik, maka
muliakanlah dirimu dulu. Pasti Dia akan membimbingmu untuk bertemu dengan
jodohmu, jodoh yang hakikatnya sudah dicatat olehNya ribuan tahun yang lalu di lauhul mahfuzh. Rindu
tertahan karena Allah, akan begitu indah dan nikmat dijalani dalam pernikahan,
tidak ada hambatan, tidak ada kekhawatiran, tidak ada kepalsuan, tidak ada
kefanaan, semua halal, halal dan halal. Pacaran yang paling asyekk ya setelah
nikah. Sebenernya, kalo.....” Ah, belum sempet kami menyelesaikan diskusi,
tiba-tiba obrolan kami terhenti oleh teriakan kernet bus..
“persiapan, persiapan.. TERMINAL BANYUMANIK.. TERMINAL BANYUMANIK !! “
Saking asyiknya diskusi, tanpa disadari bus yang kami tumpangi
sudah sampai di Terminal Banyumanik. Aku pun segera turun dari bus, berjejalan
dengan penumpang lain yang juga turun di Terminal Banyumanik. Sedangkan Dian masih
melanjutkan perjalanan menuju Semarang kota. Dalam perjalanan
dari terminal menuju kos-kosan, aku banyak beristigfar. Teringat dengan apa
yang baru saja aku dan Dian diskusikan. Takut ada yang keliru degan apa yang
aku sampaikan padanya. Sungguh kebenaran hanya mutlak milikNya, dan kesalahan
itu datangya dari diriku.
***
Pagi itu, atau satu hari setelah aku
berjumpa dengan Dian, saat aku sedang
menyelesaikan tulisan ini, tiba-tiba ada sms masuk dari nomer baru. 085725xxx..
“Assalam.wr.wb. Mas nurmasnyah, gimana kabar ? alkhamdulilah mas, aku sudah putus sama pacarku. Trimakasih untuk diskusinya kemarin mas. #Dian“.
“Assalam.wr.wb. Mas nurmasnyah, gimana kabar ? alkhamdulilah mas, aku sudah putus sama pacarku. Trimakasih untuk diskusinya kemarin mas. #Dian“.
Subhanalloh
batinku. Aku baru ingat, bahwa sebelum aku turun di terminal Banyumanik kemarin,
Dian sempat minta nomer hp padaku. hahaa ^^ (*)
*) Semarang, 22 november 2012
subhanallah...
BalasHapusmanteb syah... *eh mansyah kan?
Iyaa ndan ki mansyah...
BalasHapusHemm.. Lg belajar nulis ki ndan..
bagus maaas. keren :) hehe
BalasHapusiya trimakasih dek nisha... semoga bermanfaat. trimakasih udah mampir. :) hehe
Hapussubhanalloh, sip tenan kang
BalasHapuscieee tukeran no hp *salah fokus*
BalasHapusnice statement syah.. mantapkan!
ndang nikah sanah lah syah~
"ndang nikah sanah lah syah~" kok penak men.. -__-
Hapusemmm, itu kode biar kamu nikahin laras gitu #eh
BalasHapus