Hemmm... nampaknya kali ini saya juga harus merasakan virus yang sedang banyak dirasakan oleh teman-teman saya. Pasukan galauers julukan untuk mereka yang sedang terjangkit virus ini. Ya benar, saya sekarang sedang galau.
Melihat tayangan berita di televisi, membaca berita di koran harian nasional pagi hari ini ( Jawa pos, 050112) membuat saya benar-benar galau. Berita tersebut memberi informasi mengenai kasus pencurian sandal butut milik seorang briptu ( saya lupa namanya, yang pasti bukan briptu nurman, apalagi briptu nurmansyah .. hehehe ).
Sandal butut tersebut dicuri oleh seorang siswa SMK berusia 15 tahun bernama AAL. Tersangka terancam hukuman 5 tahun penjara. Tanggapan masyarakat terhadap kasus tersebut sangat luar biasa. Hal tersebutlah yang membuat saya penasaran. Membuat saya jatuh cinta pada perkara ini.
Sandal butut tersebut dicuri oleh seorang siswa SMK berusia 15 tahun bernama AAL. Tersangka terancam hukuman 5 tahun penjara. Tanggapan masyarakat terhadap kasus tersebut sangat luar biasa. Hal tersebutlah yang membuat saya penasaran. Membuat saya jatuh cinta pada perkara ini.
Meskipun untuk saat ini saya sedang tumbuh di lingkungan sains, kecintaan saya pada bidang sospolhum semakin menjadi-jadi dengan munculnya berita publik semacam ini. Benar-benar membuat hati saya gregetan. Berita ini mengingatkan saya pada peristiwa pencurian buah kakao yang dilakukan oleh seorang nenek miskin di Banyumas, atau pencurian dua buah semangka di Kediri. Penyidik memang mempunyai pertimbangan obyektif terkait setiap kasus pencurian ( maaf saya sendiri belum tahu UU atau pasal mana saja yang berkaitan dengan kasus pidana semacam ini ). Selain itu, penyidik juga wajib menindaklanjuti setiap laporan dari masyarakat. Namun, yang membuat hati saya benar-benar gregetan adalah kesan bobrok yang selama ini muncul terhadap budaya hukum di Indonesia. Kenapa tidak ? ternyata pedang peradilan kita tumpul ke atas, dan tajam ke bawah.
Barangkali pembaca sekalian sudah paham ( atau malah bosen ) dengan pemberitaan kasus-kasus suap dan korupsi yang menyeret nama-nama besar di negara ini. Begitu sukar sekali kasus mereka untuk diusut. Butuh waktu yang lama untuk bisa menaikan kasus mereka ke persidangan. Selalu ada saja prosedur yang menghambat proses pengusutan. Terakhir, informasi yang saya dengar, KPK menghentikan sementara pengusutan kasus besar gara-gara sudah kehabisan dana. Saya tertawa ketika membaca artikel tersebut. Orang-orang bodoh seperti saya pasti akan segera nyeplos, “ lah wong uangnya aja udah di korupsi ! kalau memang benar-benar butuh dana, minta aja uangnya kepada koruptor yang kasusnya sedang anda tangani, kalo ditanya uangnya buat apa, jawab aja dengan tegas : ya buat keperluan melanjutkan penyidikan kasus anda pak koruptor !” Hahaaha. Hal yang sangat bodoh bukan? Akan menjadi lebih bodoh kalau pak koruptor bersedia memberikan sebagian hasil korupsinya kepada pihak KPK demi segera berakhirnya penyidikan kasus korupsi yang dituduhkan kepada mereka. Seperti kebiasaan kasus-kasus sebelumnya, pemberitaan kasus-kasus besar selalu menguap begitu saja dilingkup masyarakat luas. Khusus untuk hal ini, saya benar-benar bingung. Pakar hipnotis mana yang mampu menghipnotis ( menghilangkan ingatan ) banyak orang dalam suatu negara untuk sebuah kasus besar.
Anehnya, begitu mudahnya kasus hukum naik ke meja persidangan dan segera diputuskan hasil sidangnya ketika hukum itu menyentuh kalangan bawah, orang-orang lugu yang tidak mengerti hukum, orang miskin yang tidak mampu menyewa pengacara, buta huruf, kampungan, dsb. Inilah yang saya sebut bahwa pedang keradilan kita tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Kalo dipikir-pikir, apakah seorang briptu akan begitu terancam hidupnya ketika sandal butut yang dia miliki dicuri ? apakah seorang juragan akan merasa gelisah ( takut jatuh miskin ) selamanya gara-gara beberapa buah kakao miliknya yang jatuh tidak sengaja di pekarangannya diambil oleh nenek miskin ?. Sedih sekali ketika saya harus membayangkan seorang nenek-nenek tua berjalan dengan langkah tertatih diantar oleh sanak keluarganya menuju kursi persidangan. Duduk lugu termangu mendengarkan pembacaan pasal-pasal yang menjeratnya, aturan persidangan dsb, yang dia sendiri sebagai tersangka tidak mengerti maksud dari Bahasa Indonesia formal yang disampaikan pimpinan sidang.
Sekali lagi, saya yakin bahwa aparat penegak hukum punya landasan obyektif. Tapi, bukankah esensi dari hukum adalah menegakkan keadilan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ahh... barangkali hukum kita memang sudah tertata pada garis prosedural dan asas, bukan pada prinsip subtansial. Sehingga aparat penegak hukum kita seringkali menutup mata hati keadilan dan kemanusiaan manakala prosedur dan asas sudah terpenuhi. Tampaknya dalam hal memanusiakan manusia, hukum adat kita lebih arif jika dibandingkan dengan hukum formal yang telah ada. Pertanyaan yang muncul dalam benak saya, paradigma yang selama ini tumbuh di masyarakat kita, apakah manusia untuk hukum atau hukum untuk manusia ?
Sudah saatnya aparat penegak hukum kembali pada esensi jati dirinya. Menegakkan keadilan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jika tidak, tentu pedang peradilan kita akan selalu tumpul ke atas.
* ) Ditulis dengan rasa galau... Semarang, 6 Januari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar