"Ajining diri gumanthung soko lathi... "
Di zaman yang serba modern ini, segalanya berkembang. Ilmu
pengetahuan berkembang, teknologi juga berkembang. Anda tahu, angka
kriminalitas juga meningkat, seks bebas meningkat, akses data porno di internet
meningkat, korupsi meningkat, dst. Ah, saya yakin, anda pun sama dengan saya, jera mendengar berita-berita membosankan tersebut. Suatu ketika saya mencoba beralih ke acara humor,
awalnya saya menikmati, lambat laun acara komedi kita pun membosankan. Kenapa
tidak memilih sinetron saja ? ah, sinetron kita hanya akan mengajarkan kita bagaimana cara menangis secara baik dan benar. Namun,
dibalik itu semua, ada hal lain yang patut kita tangisi selain efek negative
dari perkembangan zaman tersebut. Anda tahu apa itu ? Saya kira
masalah merosotnya pengetahuan tentang warisan budaya nasional generasi muda saat ini adalah masalah
yang sama seriusnya dengan masalah gadis belia yang hamil di luar nikah, atau kasus siswa kelas 5 SD yang hampir membunuh teman
1 kelasnya karena masalah dendam.
Semasa kecil, saya pernah bermimpi ingin berdomisili ke luar negeri, Australia misalnya. Tapi ternyata itu hanya angan-angan konyol. Hidup saya bukanlah seperti tokoh kartun Nobita yang bisa pidah kapan saja dengan pintu kemana saja milik Doraemon. Saya kira, anda dan saya juga sama. Kita besar, tumbuh dan berkembang di negeri sendiri. Secara hukum alam, seharusnya kita memiliki sebuah tuntutan untuk memahami budaya kita sendiri. Bagi anda manusia jawa tulen, anda tau, ada berapa jenis batik yang berkembang di tanah jawa? Apakah anda hafal, lirik lagu ler-iler? Bisakah anda menceritakan sejarah terciptanya aksara jawa?, ah mungkin pertanyaan saya yang terakhir masih terlalu berat. Saya ganti. Apakah anda hafal dan mampu menuliskan aksara-aksara jawa ? Saya harap, anda tidak perlu mengetik beberapa keyword di google untuk memastikan jawaban atas pertanyaan tadi itu benar. Jika anda melakukan hal konyol dengan mengetik beberapa keyword, itu artinya anda sama dengan saya. Sama-sama buta budaya. Saya harap anda segera tersadar dari tidur lelap anda.
Semasa kecil, saya pernah bermimpi ingin berdomisili ke luar negeri, Australia misalnya. Tapi ternyata itu hanya angan-angan konyol. Hidup saya bukanlah seperti tokoh kartun Nobita yang bisa pidah kapan saja dengan pintu kemana saja milik Doraemon. Saya kira, anda dan saya juga sama. Kita besar, tumbuh dan berkembang di negeri sendiri. Secara hukum alam, seharusnya kita memiliki sebuah tuntutan untuk memahami budaya kita sendiri. Bagi anda manusia jawa tulen, anda tau, ada berapa jenis batik yang berkembang di tanah jawa? Apakah anda hafal, lirik lagu ler-iler? Bisakah anda menceritakan sejarah terciptanya aksara jawa?, ah mungkin pertanyaan saya yang terakhir masih terlalu berat. Saya ganti. Apakah anda hafal dan mampu menuliskan aksara-aksara jawa ? Saya harap, anda tidak perlu mengetik beberapa keyword di google untuk memastikan jawaban atas pertanyaan tadi itu benar. Jika anda melakukan hal konyol dengan mengetik beberapa keyword, itu artinya anda sama dengan saya. Sama-sama buta budaya. Saya harap anda segera tersadar dari tidur lelap anda.
Berikutnya, saya tidak ingin bertanya tentang hal-hal
aneh lagi. Melalui coretan dinding ini, saya hanya ingin menulis
masalah-masalah sosial yang lebih sepele, nyata dan dekat. Masalah sosial
budaya yang sepele yang benar-benar berada di sekitar kita. Anda tahu, bahasa
Jawa adalah salah satu aset warisan budaya yang dimiliki oleh negeri kita. Di
Pulau Jawa bagian tengah dan timur, bahasa jawa digunakan sebagai bahasa
komunikasi sehari-hari. Ada bahasa ngoko, ada bahasa krama inggil. Anda tahu, salah
satu wujud penghormatan kita, selain dalam bentuk sikap, juga dalam wujud
penggunaan bahasa. Dalam budaya Jawa, penggunaan bahasa krama inggil sangat
ditekankan.
Namun, seiring berkembangnya zaman, jarang generasi muda kini yang menggunakannya ( bahasa krama ). Di daerah yang masih kental terhadap
penggunaan etika berbahasa krama, akan
ada ganjaran khusus berupa sanksi sosial ( gunjingan ) bagi mereka ( kaum muda
) yang “ugal-ugalan” menggunakan bahasa krama. Untuk hal ini, saya sendiri kurang begitu yakin apakah memang benar-benar ada daerah yang masih kental mengedapankan etika penggunaan bahasa krama. Semaua sudah terjamah oleh modernisasi. Daerah saya sendiri, Banyumas,
Purwokerto, Cilacap, dan sekitarnya bukan tempat yang tepat lagi untuk dikatakan
sebagai tempat pemberdayaan bahasa krama inggil. Menurut saya, di luar bahasa
ngapak-ngapaknya yang unik, penggunaan bahasa krama inggil sebagai identitas
masyarakat ngapak yang beretika tetap harus dikedepankan. Namun, nyatanya, fakta di
lingkungan sosialah yang berbicara. Sebagai seorang yang besar di lingkungan
jawa ( Banyumas ), saya sendiri malu untuk mengakuinya. Di lingkungan RT saya sendiri
misalnya, pemuda yang usianya sama atau di bawah saya, kini sudah jarang sekali
ditemukan menggunakan bahasa krama inggil. Ketika sedang berbincang dengan orang lebih tua
misalnya, dengan nyaman mereka berbincang dengan bahasa ngoko biasa. Hal lain
yang membuat saya heran adalah justru orang tua mereka mendiamkan begitu
saja sopan santun yang ditampakan oleh si anak. Saya kira, fenomena ini bisa
digeneralisasikan untuk pemuda dan orang tua yang ada di RT atau bahkan kampung sebelah. Ah..
entahlah.
Sedangkan teman-teman saya yang kini berdomisili
di lingkungan yang lebih ngotani, jauh
dari pelosok, biasanya mereka lebih merapat ke tingkat kaum yang lebih borjuis.
Meninggalkan bahasa jawa ( baik ngoko maupun kromo ), lalu beralih ke Bahasa
Indonesia. Nasionalis bukan ? ah, saya kira tidak. Nasionalisme yang keliru. Anda
tahu, bahkan ada golongan yang lebih kreative. Mencampuradukan penggunaan
bahasa jawa dengan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Polanya
beragam. Ketika berada di luar rumah, saat
berbincang dengan teman sekolah, teman bermain, dsb, mereka akan selalu
menggunakan bahasa jawa ( ngoko).Namun pada saat berada di rumah, saat
berbincang dengan keluarga, entah siapa yang menyetting sebelumnya, secara
otomatis bahasa mereka akan berubah menjadi bahasa Indonesia. Ajaib bukan. Ada
yang menggunakan pola sebaliknya, bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan teman-teman bermain,
bahasa jawa untuk keluarga. Ada pula yang selau mencampuradukan kedua bahasa
ini di dua lingkungan sekaligus. Atau mungkin anda punya pola pencampuradukan
bahasa yang lebih extrem ? bahasa Indonesia atau kromo inggil untuk komunikasi dengan binatang
peliharaan, bahasa jawa ( ngoko ) untuk keluarga. Ah... entahlah. Saya kira
pencampuradukan penggunaan bahasa Indonesia di lingkungan sosial kita tidak
akan menjadi masalah asalkan menyesuaikan konteksnya, baik itu lawan bicara
kita maupun forum dimana kita bicara.
Banyak generasi muda saat ini menganggap bahwa
bahasa kromo sudah jadul. Bahasa kromo itu susah, berbelit-belit, terlalu banyak aturan,
sehingga lebih memilih mencari jalan aman. Beralih menggunakan bahasa Indonesia
saat berbincang dengan orang yang lebih tua. Sesungguhnya jika kita mau
mempelajari dan menghayati secara serius, kita akan menemukan bahwa di dalam
bahasa krama inggil itu terkandung pendidikan karakter yang sangat bernilai. Pelajaran
hidup yang mengajarkan kita untuk beretika dan bersopan santun. Menurut saya,
salah satu sebab menurunnya moral dan etika generasi kita saat ini adalah
semakin menurunnya penghayatan dan penggunaan bahasa krama inggil di lingkungan
keluarga dan sosial masyarakat. Beruntunglah bagi anda yang saat ini sudah
membiasakan diri dan cakap berbahasa krama inggil. Itu artinya anda adalah permata. ( * )
*) Semarang, 23 Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar