Minggu, 25 Maret 2012

Bahasa Kromo, Nasibmu Kini


"Ajining diri gumanthung soko lathi... "



 Di zaman yang serba modern ini, segalanya berkembang. Ilmu pengetahuan berkembang, teknologi juga berkembang. Anda tahu, angka kriminalitas juga meningkat, seks bebas meningkat, akses data porno di internet meningkat, korupsi meningkat, dst. Ah, saya yakin, anda pun sama dengan saya, jera mendengar berita-berita membosankan tersebut. Suatu ketika saya mencoba beralih ke acara humor, awalnya saya menikmati, lambat laun acara komedi kita pun membosankan. Kenapa tidak memilih sinetron saja ? ah, sinetron kita hanya akan mengajarkan kita bagaimana cara menangis secara baik dan benar. Namun, dibalik itu semua, ada hal lain yang patut kita tangisi selain efek negative dari perkembangan zaman tersebut. Anda tahu apa itu ? Saya kira masalah merosotnya pengetahuan tentang warisan budaya nasional generasi muda saat ini adalah masalah yang sama seriusnya dengan masalah gadis belia yang hamil di luar nikah,  atau kasus siswa kelas 5 SD yang hampir membunuh teman 1 kelasnya karena masalah dendam.

Semasa kecil, saya pernah bermimpi ingin berdomisili ke luar negeri, Australia misalnya. Tapi ternyata itu hanya angan-angan konyol. Hidup saya bukanlah seperti tokoh kartun Nobita yang bisa pidah kapan saja dengan pintu kemana saja milik Doraemon. Saya kira, anda dan saya juga sama. Kita besar, tumbuh dan berkembang di negeri sendiri. Secara hukum alam, seharusnya kita memiliki sebuah tuntutan untuk memahami budaya kita sendiri. Bagi anda manusia jawa tulen, anda tau, ada berapa jenis batik yang berkembang di tanah jawa? Apakah anda hafal, lirik lagu ler-iler? Bisakah anda menceritakan sejarah terciptanya aksara jawa?, ah mungkin pertanyaan saya yang terakhir masih terlalu berat. Saya ganti. Apakah anda hafal dan mampu menuliskan aksara-aksara jawa ? Saya harap, anda tidak perlu mengetik beberapa keyword di google untuk memastikan jawaban atas pertanyaan tadi itu benar. Jika anda melakukan hal konyol dengan mengetik beberapa keyword, itu artinya anda sama dengan saya. Sama-sama buta budaya. Saya harap anda segera tersadar dari tidur lelap anda.
Berikutnya, saya tidak ingin bertanya tentang hal-hal aneh lagi. Melalui coretan dinding ini, saya hanya ingin menulis masalah-masalah sosial yang lebih sepele, nyata dan dekat. Masalah sosial budaya yang sepele yang benar-benar berada di sekitar kita. Anda tahu, bahasa Jawa adalah salah satu aset warisan budaya yang dimiliki oleh negeri kita. Di Pulau Jawa bagian tengah dan timur, bahasa jawa digunakan sebagai bahasa komunikasi sehari-hari. Ada bahasa ngoko, ada bahasa krama inggil. Anda tahu, salah satu wujud penghormatan kita, selain dalam bentuk sikap, juga dalam wujud penggunaan bahasa. Dalam budaya Jawa, penggunaan bahasa krama inggil sangat ditekankan.
Namun, seiring berkembangnya zaman, jarang generasi muda kini yang menggunakannya ( bahasa krama ). Di daerah yang masih kental terhadap penggunaan etika berbahasa krama,  akan ada ganjaran khusus berupa sanksi sosial ( gunjingan ) bagi mereka ( kaum muda ) yang “ugal-ugalan” menggunakan bahasa krama. Untuk hal ini, saya sendiri kurang begitu yakin apakah memang benar-benar ada daerah yang masih kental mengedapankan etika penggunaan bahasa krama. Semaua sudah terjamah oleh modernisasi. Daerah saya sendiri, Banyumas, Purwokerto, Cilacap, dan sekitarnya bukan tempat yang tepat lagi untuk dikatakan sebagai tempat pemberdayaan bahasa krama inggil. Menurut saya, di luar bahasa ngapak-ngapaknya yang unik, penggunaan bahasa krama inggil sebagai identitas masyarakat ngapak yang beretika tetap harus dikedepankan. Namun, nyatanya, fakta di lingkungan sosialah yang berbicara. Sebagai seorang yang besar di lingkungan jawa ( Banyumas ), saya sendiri malu untuk mengakuinya. Di lingkungan RT saya sendiri misalnya, pemuda yang usianya sama atau di bawah saya, kini sudah jarang sekali ditemukan menggunakan bahasa krama inggil. Ketika sedang berbincang dengan orang lebih tua misalnya, dengan nyaman mereka berbincang dengan bahasa ngoko biasa. Hal lain yang membuat saya heran adalah justru orang tua mereka mendiamkan begitu saja sopan santun yang ditampakan oleh si anak. Saya kira, fenomena ini bisa digeneralisasikan untuk pemuda dan orang tua yang ada di RT atau bahkan kampung sebelah. Ah.. entahlah.
Sedangkan teman-teman saya yang kini berdomisili di lingkungan yang lebih ngotani, jauh dari pelosok, biasanya mereka lebih merapat ke tingkat kaum yang lebih borjuis. Meninggalkan bahasa jawa ( baik ngoko maupun kromo ), lalu beralih ke Bahasa Indonesia. Nasionalis bukan ? ah, saya kira tidak. Nasionalisme yang keliru. Anda tahu, bahkan ada golongan yang lebih kreative. Mencampuradukan penggunaan bahasa jawa dengan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Polanya beragam. Ketika berada di luar rumah, saat  berbincang dengan teman sekolah, teman bermain, dsb, mereka akan selalu menggunakan bahasa jawa ( ngoko).Namun pada saat berada di rumah, saat berbincang dengan keluarga, entah siapa yang menyetting sebelumnya, secara otomatis bahasa mereka akan berubah menjadi bahasa Indonesia. Ajaib bukan. Ada yang menggunakan pola sebaliknya, bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan teman-teman bermain, bahasa jawa untuk keluarga. Ada pula yang selau mencampuradukan kedua bahasa ini di dua lingkungan sekaligus. Atau mungkin anda punya pola pencampuradukan bahasa yang lebih extrem ? bahasa Indonesia  atau kromo inggil untuk komunikasi dengan binatang peliharaan, bahasa jawa ( ngoko ) untuk keluarga. Ah... entahlah. Saya kira pencampuradukan penggunaan bahasa Indonesia di lingkungan sosial kita tidak akan menjadi masalah asalkan menyesuaikan konteksnya, baik itu lawan bicara kita maupun forum dimana kita bicara.
Banyak generasi muda saat ini menganggap bahwa bahasa kromo sudah jadul. Bahasa kromo itu susah, berbelit-belit, terlalu banyak aturan, sehingga lebih memilih mencari jalan aman. Beralih menggunakan bahasa Indonesia saat berbincang dengan orang yang lebih tua. Sesungguhnya jika kita mau mempelajari dan menghayati secara serius, kita akan menemukan bahwa di dalam bahasa krama inggil itu terkandung pendidikan karakter yang sangat bernilai. Pelajaran hidup yang mengajarkan kita untuk beretika dan bersopan santun. Menurut saya, salah satu sebab menurunnya moral dan etika generasi kita saat ini adalah semakin menurunnya penghayatan dan penggunaan bahasa krama inggil di lingkungan keluarga dan sosial masyarakat. Beruntunglah bagi anda yang saat ini sudah membiasakan diri dan cakap berbahasa krama inggil. Itu artinya anda adalah permata. ( * )

*) Semarang, 23 Maret 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar