arinaforlife.blogspot.com
Buku
diari itu aku temukan di dalam laci meja belajarku. Sudah hampir tiga tahun
buku diari itu tergeletak di dalam laci. Wajar saja jika sampulnya sedikit
berdebu. Beberapa halaman juga sudah terlihat menguning. Dan kini, buku diari
itu sudah tak menyisakan halaman lagi. Semuanya sudah penuh dengan
coretan-coretan kisah perjalannku.
Tanpa
sadar, halaman demi halaman terus aku buka. Dari sekian kenangan masa lalu,
tentu yang paling membuatku terharu
adalah saat aku membaca kemabali beberapa tulisan yang bertutur tentang “metamorfosa”
diriku. Sebenarnya aku malu untuk menceritakan segalanya padamu. Tapi tak
apalah, semoga menginspirasi. Maka, akan kuceritakan padamu sepenggal kisah
masa laluku dalam sebuah lamunan.
****
Perkenalkan,
namaku Tya. Aku adalah cewek tomboy. Entah sejak kapan aku tumbuh dan
berkembang menjadi seorang cewek tomboy. Mungkin karena sejak kecil, oleh ibuku
aku biasa didandani layaknya anak cowok. Dari mulai model rambut, hingga model
baju, semua hampir tak ada bedanya dengan anak cowok. Sebagai anak kedua, aku
sudah biasa mendapat “lungsuran” baju, celana, dan sepatu dari kakaku yang
semuanya model cowok. Dan aku yakin, jika kau melihat foto-foto masa kecilku,
tentu kau akan bingung membedakan antara mana cewek dan mana cowok. Beberapa
kerabat bahkan berkomentar kalo Tya saat kecil dulu terlihat lebih ‘tampan’
dari kakaknya.
Kau
tahu, sejak kecil lingkungan sosialku pun berbeda dengan kebanyakan anak-anak
cewek seusiaku. Sejak kecil, aku selalu
dekat dengan teman-teman cowok di komplek rumahku. Aku sudah terbiasa main
lumpur, main layang-layang, manjat
pohon, main sepak bola, dan sebagainya. Aku sadar bahwa pada hakikatnya itu
bukan lingkunganku yang sesungguhnya. Aku adalah seorang cewek.Tak seharusnya
aku bermain bola dan main layang-layang seperti mereka. Tapi entahlah, waktu
itu aku pun tak mengerti. Aku merasa nyaman ketika aku tumbuh menjadi diriku
yang seperti itu. Aku merasa lebih aktif, lebih kuat, lebih wah, dan semua
berasa lebih seru.
lazuardibirru.org
Saat
aku tumbuh remaja, lingkungan sosialku mengalami pergeseran. Sejak masuk SMA,
aku mulai bisa menyatu dengan teman-teman cewek. Namun bukan berarti aku telah
berubah menjadi seorang cewek feminim. Aku tetaplah Tya yang dulu. Tya yang
tomboy. Masa remaja inilah masa yang paling penuh dengan gejolak. Lingkungan
baruku ini penuh dengan modernisasi. Semua teman-temanku dekat dengan kesan hedon. Ruang lingkup baruku ini penuh
dengan nuansa anak gaul, rok mini, tawuran, cewek merokok, dan
hal-hal negatif lainnya. Meski aku tahu bahwa itu adalah hal negatif, tapi aku
tak bisa menjauhi ruang lingkup seperti itu. Ingin aku berbuat sesuatu pada
mereka, tapi itu hanya sekedar niatan saja. Faktanya, aku tak pernah berbuat
sesuatu pada mereka. Aku tak berkutik, aku hanya membiarkan mereka melakukan
apa-apa yang menurutku salah. Aku beranggapan, inilah dunia modern, jika aku
tak ingin ketinggalan zaman, maka berbaurlah dengan mereka walaupun tak
mengikuti hal-hal negatif dari mereka.
Ketika
kami hangout, sudah menjadi hal biasa
jika teman-temanku berpenampilan seksi, modis, dan menggoda. Tanpa sadar,
kadang aku juga mengikuti gaya mereka. Bedanya, aku tetap mempertahankan gaya
maskulinku. Ketika kami keluar jalan-jalan dengan penampilan seperti itu, kami
merasa sangat percaya diri. Setiap langkah selalu dilirik oleh cowok-cowok.
Berasa menjadi pusat perhatian. Astaghfirullah...
Di
lingkungan baruku ini aku juga dikenalkan dengan istilah “pacaran”. Akan dicap
primitif jika salah satu dari kami tidak punya pacar. Tidak mau punya pacar,
berarti itu munafik. Itu paradigma yang dulu didoktrinkan di lingkunganku.
Suatu kebanggan bagi seorang cewek jika bisa berpacaran dengan senior yang
tampan, anak motor, anak band, anak basket, anak OSIS dan sebagainya. Awalnya
aku gak pengen ngikut-ngikut seperti mereka. Tapi pada akhirnya tetap saja aku
termakan oleh budaya hedon mereka.
Dialah kakak OSIS SMAku. Aku tak tahu mengapa dia dulu suka dengan cewek tomboy
sepertiku. Untuk masalah itu aku tak begitu peduli. Yang terpenting dia tampan,
motornya juga keren ‘beud’. Pokonya bikin aku klepek-klepek dah. Awalnya
kenalan, sms-an, tleponan, deket banget, ngajak jalan, ditembak, jadian,
pacaran, bosen, masalah, berantem, putus, nyambung, putus, nyambung, putus
beneran, musuhan. Kalo aku lagi sakit hati, aku sering mencaci dia lewat
jejaring sosial. Inilah siklus hedon
remaja modern yang ternyata masih saja berlaku sampai saat ini, iya bukan ?.
Anehnya, ketika aku sadar dengan siklus itu, aku gak kapok-kapok. Aku justru
menikmati siklus itu. Setelah putus dengan kakak OSIS, aku sempat pacaran
dengan beberapa senior, tetap dengan perjalanan siklus yang hampir sama dengan
siklus sebelumnya. Astaghfirullah...
Kau
tahu, waktu itu aku merasa gak ada yang salah dengan apa yang aku jalani.
Inilah hidupku. Aku cukup tahu, aku telah berhasil melewati masa modernku, dan
aku tumbuh menjadi remaja gaul, dan aku
nyaman dengan hidupku yang seperti itu.
tribunnews.com
Setelah
aku lulus SMA, oleh orang tuaku aku dituntut untuk melanjutkan ke jenjang
perguruan tinggi. Akupun mendaftar melalui jalur SNMPTN. Disinilah keimanan
instan berperan. Kau tahu, mengahadapi situasi semacam ini aku mendadak menjadi
rajin ibadah, seperti sholat, ngaji,
sedekah, puasa , dsb. Pokoknya segala anjuran-anjuran religi aku jalani.
Tujuannya hanya satu, lulus ujian SNMPTN. Dan akhirnya setelah belajar dengan
giat + doa (dengan keimanan instan), aku dinyatakan lulus SNMPTN. Aku diterima
di Jurusan Akutansi 2009 di salah satu perguruan tinggi negeri di Semarang.
Mungkin bermula dari kejadian itu, aku mulai merenung. Merenung bahwa ternyata ibadah yang didasari
kesadaran instanpun tetap mendapatkan jawaban terbaik dari Allah. Apalagi jika
ibadah yang aku jalani didasari oleh keimanan yang benar-benar tulus dan
ikhlas. Mungkin akan berasa sangat nikmat batinku waktu itu.
Masa
awal-awal kuliah, aku merasa banyak perubahan. Aku banyak belajar. Belajar
tentang segalanya. Aku juga mulai tertarik mendalami ilmu agama. Selera bacaku
mengalami perkembangan. Saat pergi ke toko buku, aku tak lagi mencari novel
remaja atau teenlet seperti jaman SMP
dan SMA dulu. Aku lebih tertarik berburu buku di galeri islamic book. Aku juga sering mengikuti kajian-kajian yang
disiarkan lewat tv maupun radio. Kadang aku juga mengikuti kajian-kajian yang
diadakan di masjid kampus. Tapi untuk hal yang satu ini, kadang aku merasa
canggung. Canggung karena sebagian besar pengunjung yang aktif datang dikajian
kampus adalah aktivis rokhis kampus. Aktivis-aktivis yang penampilanya ala
akhwat-akhwat gitu, mengenakan rok dan pake jilbab gede. Sedangkan aku, masih
tomboy seperti dulu. Aku masih saja nyaman dengan gaya simple, T-shirt, dipadu dengan jeans belel dan sepatu cat.
Tapi
sayangnya proses ini tak bertahan lama. Aku belum sepenuhnya istiqomah.
Lagi-lagi aku dihadapkan pada lingkungan yang penuh dengan nuansa hedon. Sebagian besar teman-teman
kuliahku tak jauh beda dengan teman-teman di SMAku dulu. Meski tak separah
dulu, tetap saja mereka memberi pengaruh negatif padaku. Mereka sering hangout keluar, jalan-jalan, hura-hura.
Ketawa-ketiwi saat kumpul bareng adalah kepuasan bagi mereka. Semua serba
duniawi. Seperti sebelumnya, aku tak berkutik. Meski aku tahu bahwa
lingkunganku negatif, tetap saja aku tak bisa menjauh dari mereka. Entahlah...
Tentang
pacaran, lagi-lagi aku termakan oleh fenomena remaja yang satu ini, hmmm. Dia
anak dari Fakultas Perikanan. Satu tingkat di atasku. Untungnya, waktu itu
hubungan kami hanya bertahan satu semester. Dan seperti yang sudah kau tebak,
hubunganku berakhir dengan menyakitkan seperti siklus-siklus sebelumnya. Sejak
putus hubungan dengan cowok perikanan itu, aku lebih banyak merenung. Aku
banyak menerima perubahan pandangan tentang pacaran. Apa sih yang sebenarnya
aku harapkan dari pacaran ? apakah hanya sekedar kesenangan saja ? jika iya,
berarti aku tak ada bedanya dengan teman-temanku yang lain.
Di
akhir semester 7 aku magang di Prudential Jakarta, sebuah perusahaan yang bergerak
dibidang asuransi. Di Prudential, aku bertemu dengan Mirza. Sama denganku, di Prudential dia
juga seorang mahasiswa yang sedang magang sepertiku. Orangnya supel dan juga
rendah hati. Dan kau tahu, ternyata kami satu almamater. Dia dari Fakultas Ilmu
Sosial sedangkan aku dari Fakultas Ekonomi. Karena kami berasal dari alamamter yang sama, wajar jika pada akhirnya
kami menjadi teman dekat.
Oia,
aku hampir saja lupa memberitahukanmu tentang sebuah rahasia. Kau tahu, di awal
semester 6 aku sudah mulai ‘berani’ mengenakan jilbab. Waktu itu aku memang
sudah punya kesadaran untuk berjilbab, tapi belum sepenuhnya. Awalnya sih
istiqomah, tapi kadang aku merasa rindu dengan gayaku yang dulu, gaya ‘casual simple sporty’. Alhasil, jilbabku
masih buka-tutup, buka-tutup. Saat di kampus aku berjilbab, tapi saat di luar
kampus aku tanggalkan jilbabku. Mungkin terkesan aneh, tapi biarlah...
setidaknya sudah ada peningkatan, meski masih buka-tutup buka tutup.
Kembali
pada kisahku dengan Mirza. Selesai magang, hubungan pertemanan kami pun tetep
berlanjut. Usut punya usut, ternyata dia anak seorang ustad. Ayahnya adalah
salah seorang pengasuh pondok pesantren di Tanggerang. Ohh... pantas saja
jika dia terlihat beda dengan cowok lain. Dulu, saat awal-awal aku magang di Prudential, aku masih ingat kali pertama berkenalan dengannya, dia menolak berjabat
tangan denganku. Dia menelungkupakan kedua telapak tangannya. Aku tahu apa
maksudnya, dan secara reflek, aku pun meniru gayanya, aku menelungkupkan kedua
telapak tanganku [-entahh mengapa, waktu
itu aku suka dengan gayaku saat menelungkupkan tangan seperti itu-]. Saat jam
istirahat tiba, saat karyawan Prudential yang lain antri memesan makan di kantin,
dia justru masih asyiik bertilawah di dalam mushola kantor. Kadang, diam-diam
aku juga asyik mendengarkan suaranya yang sama-samar terdengar dari balik hijab
mushola. Meski terdengar samar-samar, lantunan ayat-ayat Al-Quran yang ia
bacakan tetap terdengar faseh dan menentramkan hati.
Nah, semenjak aku
dekat dengan Mirza, inilah yang terjadi...
Aku
banyak mendapat pencerahan dari Mirza. Aku sering berkonsultasi tentang masalah
agama padanya. Awalnya, aku sempat merasa sungkan atas hubungan dekatku
dengannya. Itu terjadi gara-gara teman-temanku yang terlalu ‘lebay’. Kau tahu, kami sempat digosipkan berpacaran.
Teman-temanku terlalu berlebihan dalam menanggapi sesuatu. Itu terjadi karena
kami sempat kepergok berjalan berdua di toko buku. Akan kuberi tahu padamu
kejadian yang sebenarnya. Waktu itu aku tak sengaja jumpa dengannya, saat dia
juga sama-sama sedang mencari buku di Gramedia. Oleh mereka, kami disangka
sedang jalan bareng. Tidak hanya kali itu saja mereka memergoki kami berdua.
Lagi-lagi bermula dari ketidak sengajaan dan berakhir dengan salah paham. Suatu
ketika, saat aku joging diminggu pagi
[-sebagai cewek tomboy yang gemar olah raga, joging adalah aktivitas
rutinku setiap minggu pagi-] aku tak
sengaja jumpa dengan Mirza di taman kampus. Kebetulan waktu itu dia juga
sama-sama sedang joging. Semenjak itulah, gosip itu semakin menyebar ke
teman-temanku. Untungnya, Mirza tak bergeming dengan adanya gosip abal-abal
semacam itu. Buktinya dia masih welcome
denganku, dia masih berkenan untuk aku ajak diskusi tentang agama.
Oia,
tentang jilbabku yang masih buka-tutup buka-tutup, dia juga banyak memberiku
nasihat yang membuatku mantap untuk segera berhijab. Sebenernya, jauh-jauh hari
sebelum Mirza menyaranku untuk segera berhijab, sudah beberapa kali aku ‘iseng’
mencoba-coba berdandan ala hijabers. Aku mulai belajar mengenakan jilbab ala
hijaber-hijaber dari tutorial yang aku download di youtube. Di depan cermin,
tak jarang aku senyum-senyum sendiri melihat hijab kreasiku sendiri. haha.. Tak
lupa pula aku memfoto hijab hasil kreasiku [–tentu aku sendiri yg jadi
modelnya-]. Narsis sedikit bolehlah.. hehe. Bener juga apa yang dikatakan Mirza
padaku “perempuan akan terlihat lebih anggun kalo dia berani pake rok dan
jilbab yang sarii”.
Namun, momen-momen seperti inilah yang kadang tiba-tiba saja
menghadirkan ingatanku pada masa lalu. Ingatanku tentang pergaulanku bersama teman-teman
SMAku dulu. Ketika hati ini mulai mantap, tiba-tiba saja datang bisikan-bisikan
misterius yang mebuatku ragu. Entah datangnya dari mana. Terngiang
bayang-bayang temen-temenku yang akan mencibirku. Ah, bukankah masa lalu
biarlah berlalu. Mari masa lalu kita jadikan pelajaran dimasa depan. Dan
tentang hijrahku, aku tak perlu menunda lagi. “Inilah jalan kebaikan, bukankah
hidup di dunia tak selamanya ? bukankah kita tidak pernah tahu kapan datangnya
hari ‘itu’ ? kenapa ditunda-tunda lagi. Aku harus memulainya dan menyegerakan
kebaikan ini” batinku waktu itu. Aku mantap untuk benar-benar berubah.
InsyaAllah aku mantap dengan prinsip memperbaiki diri yang akan aku ambil.
InsyaAllah aku mantap untuk segera behijab. Aku tak ingin terhanyut lagi seperti
dulu. Biarlah mereka mencibir dan mentertawakanku. Silahkan!
***
deviantart.com
Kau
tahu, kini dalam keadaanku yang seperti ini, aku jauuuh lebih nyaman, tenang,
dan damai. Tentang hijabku, silahkan jika kau ingin tertawa juga seperti
mereka. Yang terpenting, aku ingin terus belajar memeperbaiki diri. I wannabe 'solehah' moeslim. (*)
*) Banyumas, 14
Agustus 2013
**) Sebuah catatan
diadaptasi dari kisah nyata perjalanan seorang teman dari Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar