Senin, 19 Agustus 2013

Tentang Hijabku, Silahkan Kau Tertawa



                                    arinaforlife.blogspot.com
Buku diari itu aku temukan di dalam laci meja belajarku. Sudah hampir tiga tahun buku diari itu tergeletak di dalam laci. Wajar saja jika sampulnya sedikit berdebu. Beberapa halaman juga sudah terlihat menguning. Dan kini, buku diari itu sudah tak menyisakan halaman lagi. Semuanya sudah penuh dengan coretan-coretan kisah perjalannku.
Tanpa sadar, halaman demi halaman terus aku buka. Dari sekian kenangan masa lalu, tentu yang paling membuatku  terharu adalah saat aku membaca kemabali beberapa tulisan yang bertutur tentang “metamorfosa” diriku. Sebenarnya aku malu untuk menceritakan segalanya padamu. Tapi tak apalah, semoga menginspirasi. Maka, akan kuceritakan padamu sepenggal kisah masa laluku dalam sebuah lamunan.
****

Perkenalkan, namaku Tya. Aku adalah cewek tomboy. Entah sejak kapan aku tumbuh dan berkembang menjadi seorang cewek tomboy. Mungkin karena sejak kecil, oleh ibuku aku biasa didandani layaknya anak cowok. Dari mulai model rambut, hingga model baju, semua hampir tak ada bedanya dengan anak cowok. Sebagai anak kedua, aku sudah biasa mendapat “lungsuran” baju, celana, dan sepatu dari kakaku yang semuanya model cowok. Dan aku yakin, jika kau melihat foto-foto masa kecilku, tentu kau akan bingung membedakan antara mana cewek dan mana cowok. Beberapa kerabat bahkan berkomentar kalo Tya saat kecil dulu terlihat lebih ‘tampan’ dari kakaknya.
Kau tahu, sejak kecil lingkungan sosialku pun berbeda dengan kebanyakan anak-anak cewek seusiaku.  Sejak kecil, aku selalu dekat dengan teman-teman cowok di komplek rumahku. Aku sudah terbiasa main lumpur, main layang-layang,  manjat pohon, main sepak bola, dan sebagainya. Aku sadar bahwa pada hakikatnya itu bukan lingkunganku yang sesungguhnya. Aku adalah seorang cewek.Tak seharusnya aku bermain bola dan main layang-layang seperti mereka. Tapi entahlah, waktu itu aku pun tak mengerti. Aku merasa nyaman ketika aku tumbuh menjadi diriku yang seperti itu. Aku merasa lebih aktif, lebih kuat, lebih wah, dan semua berasa lebih seru.
                                                                                      lazuardibirru.org
Saat aku tumbuh remaja, lingkungan sosialku mengalami pergeseran. Sejak masuk SMA, aku mulai bisa menyatu dengan teman-teman cewek. Namun bukan berarti aku telah berubah menjadi seorang cewek feminim. Aku tetaplah Tya yang dulu. Tya yang tomboy. Masa remaja inilah masa yang paling penuh dengan gejolak. Lingkungan baruku ini penuh dengan modernisasi. Semua teman-temanku dekat dengan kesan hedon. Ruang lingkup baruku ini penuh dengan nuansa anak gaul, rok mini, tawuran, cewek merokok, dan hal-hal negatif lainnya. Meski aku tahu bahwa itu adalah hal negatif, tapi aku tak bisa menjauhi ruang lingkup seperti itu. Ingin aku berbuat sesuatu pada mereka, tapi itu hanya sekedar niatan saja. Faktanya, aku tak pernah berbuat sesuatu pada mereka. Aku tak berkutik, aku hanya membiarkan mereka melakukan apa-apa yang menurutku salah. Aku beranggapan, inilah dunia modern, jika aku tak ingin ketinggalan zaman, maka berbaurlah dengan mereka walaupun tak mengikuti hal-hal negatif dari mereka.
Ketika kami hangout, sudah menjadi hal biasa jika teman-temanku berpenampilan seksi, modis, dan menggoda. Tanpa sadar, kadang aku juga mengikuti gaya mereka. Bedanya, aku tetap mempertahankan gaya maskulinku. Ketika kami keluar jalan-jalan dengan penampilan seperti itu, kami merasa sangat percaya diri. Setiap langkah selalu dilirik oleh cowok-cowok. Berasa menjadi pusat perhatian. Astaghfirullah...


Di lingkungan baruku ini aku juga dikenalkan dengan istilah “pacaran”. Akan dicap primitif jika salah satu dari kami tidak punya pacar. Tidak mau punya pacar, berarti itu munafik. Itu paradigma yang dulu didoktrinkan di lingkunganku. Suatu kebanggan bagi seorang cewek jika bisa berpacaran dengan senior yang tampan, anak motor, anak band, anak basket, anak OSIS dan sebagainya. Awalnya aku gak pengen ngikut-ngikut seperti mereka. Tapi pada akhirnya tetap saja aku termakan oleh budaya hedon mereka. Dialah kakak OSIS SMAku. Aku tak tahu mengapa dia dulu suka dengan cewek tomboy sepertiku. Untuk masalah itu aku tak begitu peduli. Yang terpenting dia tampan, motornya juga keren ‘beud’. Pokonya bikin aku klepek-klepek dah. Awalnya kenalan, sms-an, tleponan, deket banget, ngajak jalan, ditembak, jadian, pacaran, bosen, masalah, berantem, putus, nyambung, putus, nyambung, putus beneran, musuhan. Kalo aku lagi sakit hati, aku sering mencaci dia lewat jejaring sosial. Inilah siklus hedon remaja modern yang ternyata masih saja berlaku sampai saat ini, iya bukan ?. Anehnya, ketika aku sadar dengan siklus itu, aku gak kapok-kapok. Aku justru menikmati siklus itu. Setelah putus dengan kakak OSIS, aku sempat pacaran dengan beberapa senior, tetap dengan perjalanan siklus yang hampir sama dengan siklus sebelumnya. Astaghfirullah...
Kau tahu, waktu itu aku merasa gak ada yang salah dengan apa yang aku jalani. Inilah hidupku. Aku cukup tahu, aku telah berhasil melewati masa modernku, dan aku tumbuh menjadi remaja gaul, dan aku  nyaman dengan hidupku yang seperti itu.

                                                                         tribunnews.com
Setelah aku lulus SMA, oleh orang tuaku aku dituntut untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Akupun mendaftar melalui jalur SNMPTN. Disinilah keimanan instan berperan. Kau tahu, mengahadapi situasi semacam ini aku mendadak menjadi rajin ibadah, seperti sholat, ngaji,  sedekah, puasa , dsb. Pokoknya segala anjuran-anjuran religi aku jalani. Tujuannya hanya satu, lulus ujian SNMPTN. Dan akhirnya setelah belajar dengan giat + doa (dengan keimanan instan), aku dinyatakan lulus SNMPTN. Aku diterima di Jurusan Akutansi 2009 di salah satu perguruan tinggi negeri di Semarang. Mungkin bermula dari kejadian itu, aku mulai merenung.  Merenung bahwa ternyata ibadah yang didasari kesadaran instanpun tetap mendapatkan jawaban terbaik dari Allah. Apalagi jika ibadah yang aku jalani didasari oleh keimanan yang benar-benar tulus dan ikhlas. Mungkin akan berasa sangat nikmat batinku waktu itu.
Masa awal-awal kuliah, aku merasa banyak perubahan. Aku banyak belajar. Belajar tentang segalanya. Aku juga mulai tertarik mendalami ilmu agama. Selera bacaku mengalami perkembangan. Saat pergi ke toko buku, aku tak lagi mencari novel remaja atau teenlet seperti jaman SMP dan SMA dulu. Aku lebih tertarik berburu buku di galeri islamic book. Aku juga sering mengikuti kajian-kajian yang disiarkan lewat tv maupun radio. Kadang aku juga mengikuti kajian-kajian yang diadakan di masjid kampus. Tapi untuk hal yang satu ini, kadang aku merasa canggung. Canggung karena sebagian besar pengunjung yang aktif datang dikajian kampus adalah aktivis rokhis kampus. Aktivis-aktivis yang penampilanya ala akhwat-akhwat gitu, mengenakan rok dan pake jilbab gede. Sedangkan aku, masih tomboy seperti dulu. Aku masih saja nyaman dengan gaya simple, T-shirt, dipadu dengan jeans belel dan sepatu cat.
Tapi sayangnya proses ini tak bertahan lama. Aku belum sepenuhnya istiqomah. Lagi-lagi aku dihadapkan pada lingkungan yang penuh dengan nuansa hedon. Sebagian besar teman-teman kuliahku tak jauh beda dengan teman-teman di SMAku dulu. Meski tak separah dulu, tetap saja mereka memberi pengaruh negatif padaku. Mereka sering hangout keluar, jalan-jalan, hura-hura. Ketawa-ketiwi saat kumpul bareng adalah kepuasan bagi mereka. Semua serba duniawi. Seperti sebelumnya, aku tak berkutik. Meski aku tahu bahwa lingkunganku negatif, tetap saja aku tak bisa menjauh dari mereka. Entahlah...
Tentang pacaran, lagi-lagi aku termakan oleh fenomena remaja yang satu ini, hmmm. Dia anak dari Fakultas Perikanan. Satu tingkat di atasku. Untungnya, waktu itu hubungan kami hanya bertahan satu semester. Dan seperti yang sudah kau tebak, hubunganku berakhir dengan menyakitkan seperti siklus-siklus sebelumnya. Sejak putus hubungan dengan cowok perikanan itu, aku lebih banyak merenung. Aku banyak menerima perubahan pandangan tentang pacaran. Apa sih yang sebenarnya aku harapkan dari pacaran ? apakah hanya sekedar kesenangan saja ? jika iya, berarti aku tak ada bedanya dengan teman-temanku yang lain.
Di akhir semester 7 aku magang di Prudential Jakarta, sebuah perusahaan yang bergerak dibidang asuransi. Di Prudential, aku bertemu dengan Mirza. Sama denganku, di Prudential dia juga seorang mahasiswa yang sedang magang sepertiku. Orangnya supel dan juga rendah hati. Dan kau tahu, ternyata kami satu almamater. Dia dari Fakultas Ilmu Sosial sedangkan aku dari Fakultas Ekonomi. Karena kami berasal dari  alamamter yang sama, wajar jika pada akhirnya kami menjadi teman dekat.

                              tebuwung85.blogspot.com
 Oia, aku hampir saja lupa memberitahukanmu tentang sebuah rahasia. Kau tahu, di awal semester 6 aku sudah mulai ‘berani’ mengenakan jilbab. Waktu itu aku memang sudah punya kesadaran untuk berjilbab, tapi belum sepenuhnya. Awalnya sih istiqomah, tapi kadang aku merasa rindu dengan gayaku yang dulu, gaya  ‘casual simple sporty’. Alhasil, jilbabku masih buka-tutup, buka-tutup. Saat di kampus aku berjilbab, tapi saat di luar kampus aku tanggalkan jilbabku. Mungkin terkesan aneh, tapi biarlah... setidaknya sudah ada peningkatan, meski masih buka-tutup buka tutup.

Kembali pada kisahku dengan Mirza. Selesai magang, hubungan pertemanan kami pun tetep berlanjut. Usut punya usut, ternyata dia anak seorang ustad. Ayahnya adalah salah seorang pengasuh pondok pesantren di Tanggerang. Ohh... pantas saja jika dia terlihat beda dengan cowok lain. Dulu, saat awal-awal aku magang di Prudential, aku masih ingat kali pertama berkenalan dengannya, dia menolak berjabat tangan denganku. Dia menelungkupakan kedua telapak tangannya. Aku tahu apa maksudnya, dan secara reflek, aku pun meniru gayanya, aku menelungkupkan kedua telapak tanganku  [-entahh mengapa, waktu itu aku suka dengan gayaku saat menelungkupkan tangan seperti itu-]. Saat jam istirahat tiba, saat karyawan Prudential yang lain antri memesan makan di kantin, dia justru masih asyiik bertilawah di dalam mushola kantor. Kadang, diam-diam aku juga asyik mendengarkan suaranya yang sama-samar terdengar dari balik hijab mushola. Meski terdengar samar-samar, lantunan ayat-ayat Al-Quran yang ia bacakan tetap terdengar faseh dan menentramkan hati. 

Nah, semenjak aku dekat dengan Mirza, inilah yang terjadi...

Aku banyak mendapat pencerahan dari Mirza. Aku sering berkonsultasi tentang masalah agama padanya. Awalnya, aku sempat merasa sungkan atas hubungan dekatku dengannya. Itu terjadi gara-gara teman-temanku yang terlalu ‘lebay’.  Kau tahu, kami sempat digosipkan berpacaran. Teman-temanku terlalu berlebihan dalam menanggapi sesuatu. Itu terjadi karena kami sempat kepergok berjalan berdua di toko buku. Akan kuberi tahu padamu kejadian yang sebenarnya. Waktu itu aku tak sengaja jumpa dengannya, saat dia juga sama-sama sedang mencari buku di Gramedia. Oleh mereka, kami disangka sedang jalan bareng. Tidak hanya kali itu saja mereka memergoki kami berdua. Lagi-lagi bermula dari ketidak sengajaan dan berakhir dengan salah paham. Suatu ketika, saat aku joging diminggu pagi  [-sebagai cewek tomboy yang gemar olah raga, joging adalah aktivitas rutinku setiap minggu pagi-]  aku tak sengaja jumpa dengan Mirza di taman kampus. Kebetulan waktu itu dia juga sama-sama sedang joging. Semenjak itulah, gosip itu semakin menyebar ke teman-temanku. Untungnya, Mirza tak bergeming dengan adanya gosip abal-abal semacam itu. Buktinya dia masih welcome denganku, dia masih berkenan untuk aku ajak diskusi tentang agama.
Oia, tentang jilbabku yang masih buka-tutup buka-tutup, dia juga banyak memberiku nasihat yang membuatku mantap untuk segera berhijab. Sebenernya, jauh-jauh hari sebelum Mirza menyaranku untuk segera berhijab, sudah beberapa kali aku ‘iseng’ mencoba-coba berdandan ala hijabers. Aku mulai belajar mengenakan jilbab ala hijaber-hijaber dari tutorial yang aku download di youtube. Di depan cermin, tak jarang aku senyum-senyum sendiri melihat hijab kreasiku sendiri. haha.. Tak lupa pula aku memfoto hijab hasil kreasiku [–tentu aku sendiri yg jadi modelnya-]. Narsis sedikit bolehlah.. hehe. Bener juga apa yang dikatakan Mirza padaku “perempuan akan terlihat lebih anggun kalo dia berani pake rok dan jilbab yang sarii”. 
Namun, momen-momen seperti inilah yang kadang tiba-tiba saja menghadirkan ingatanku pada masa lalu. Ingatanku tentang pergaulanku bersama teman-teman SMAku dulu. Ketika hati ini mulai mantap, tiba-tiba saja datang bisikan-bisikan misterius yang mebuatku ragu. Entah datangnya dari mana. Terngiang bayang-bayang temen-temenku yang akan mencibirku. Ah, bukankah masa lalu biarlah berlalu. Mari masa lalu kita jadikan pelajaran dimasa depan. Dan tentang hijrahku, aku tak perlu menunda lagi. “Inilah jalan kebaikan, bukankah hidup di dunia tak selamanya ? bukankah kita tidak pernah tahu kapan datangnya hari ‘itu’ ? kenapa ditunda-tunda lagi. Aku harus memulainya dan menyegerakan kebaikan ini” batinku waktu itu. Aku mantap untuk benar-benar berubah. InsyaAllah aku mantap dengan prinsip memperbaiki diri yang akan aku ambil. InsyaAllah aku mantap untuk segera behijab. Aku tak ingin terhanyut lagi seperti dulu. Biarlah mereka mencibir dan mentertawakanku. Silahkan!
***
                                            deviantart.com
Kau tahu, kini dalam keadaanku yang seperti ini, aku jauuuh lebih nyaman, tenang, dan damai. Tentang hijabku, silahkan jika kau ingin tertawa juga seperti mereka. Yang terpenting, aku ingin terus belajar memeperbaiki diri. I wannabe 'solehah' moeslim. (*)

*)   Banyumas, 14 Agustus 2013
**) Sebuah catatan diadaptasi dari kisah nyata perjalanan seorang teman dari       Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar