Senin, 06 Januari 2014

Televisi Kita dan Penyakit

                           sumber gambar : debsukasuka.blogspot.com

Awalnya aku ingin menjadikan tulisan ini sebagai catatan akhir tahun. Aku memulai tulisan ini akhir Bulan Desember 2013 lalu. Sayangnya, belum sempat aku merampungkannya, aku malah menundanya untuk beberapa waktu. Aku sarankan, untuk urusan tulis menulis kau jangan terlalu sering menunda-nunda. Menunda adalah penyakit yang menjadikanmu kian malas -termasuk juga untuk urusan mengerjakan skripsi, jangan ditunda-tunda #eh-. Setelah gagal menjadikan ini sebagai catatan akhir tahun, maka aku anggap ini sebagai catatan awal tahun.. hehe

Aku bukanlah penonton televisi yang tekun dan cermat. Namun akhir-akhir ini, tiap kali aku sengaja menonton acara TV, bukannya membuatku terhibur, menonton televisi justru membuatku resah. Apakah kau sama denganku, berpendapat  bahwa acara televisi Indonesia benar-benar sudah seperti sebuah virus. Kau tahu, sebuah virus jika dibiarkan begitu saja lambat laun akan melahirkan sebuah penyakit. Persis seperti stasiun televisi kita yang banyak menyajikan program-progam tidak bermutu, tayangan yang murahan dan tidak mendidik. Dulu, banyak masyarakat kita yang mengeluhkan mengapa stasiun televisi tega meracuni anak-anak mereka dengan tayangan semacam sinetron yang critanya tidak masuk akal, terlalu dibuat-buat, dan jalannya crita terlalu mudah ditebak –layaknya tebak-tebakan konyol-. Aku tidak habis pikir, mengapa ada sebuah sinetron yang di dalamnya menceritakan ‘keganasan’ seorang ibu  yang mencaci maki anak kandungnya sendiri atau seorang anak remaja yang masih duduk di bangku SMP tapi karakter jahatnya sudah benar-benar tidak ‘ketulungan’. Itu dulu, sekarang ? kini tayangan-tayangan televisi kita bukannya semakin baik tapi justru semakin semrawut. Benar-benar sudah menjadi penyakit. 
         Kau tahu, selain berita olahraga dan talkshow, salah satu acara televisi favoritku lainnya adalah acara humor. Dan kini, acara humor kita benar-benar mengalami perkembangan pesat tingkat kesemrawutannya, benar-benar konyol. Aku kira seharusnya mereka (para pelawak) tahu bahwa membuat lelucon, memancing orang untuk nyengir atau tertawa tentu saja membutuhkan kecerdasan. Dan seperti yang biasa kau lihat di layar televisimu, guyonan mereka sama sekali tidak waras dan tidak cerdas. Sepertinya, acara televisi kita semakin mahir melahirkan para pelawak dan pembawa acara yang menjengkelkan. Mereka hanya sekumpulan orang yang merasa lucu -tapi sejatinya mereka sama sekali tidak lucu-. Aku tak habis pikir, bagaimana mungkin  sebuah olok-olok, ejekan, cacian, kata-kata kasar dsb oleh mereka bisa dijadikan sebagai bahan banyolan. Begitu menyedihkan, iya bukan ?
Tentang virus penyakit lainnya ? tentu infotainment jawabannya. Jangan ditanya untuk acara yang satu ini, benar-benar menghadirkan candu negatif. Para selebritis kita, selalu tampil dengan gaya yang seolah-olah mereka adalah manusia paling menarik sejagad. Dan yang paling menjadi masalah bagiku adalah polah tingkah mereka yang selalu mengajarkan kepada masyarakat kita budaya konsumtif dan primitif. Televisi kita hanya menawarkan realita yang semakin lebay. Jika hari ini ada satu seleb lebay yang sangat digandrungi, maka besok akan bermunculan seleb-seleb super duper lebay yang akan menarik perhatianmu. Begitulah fenomenanya.
Kau tahu, satu minggu yang lalu, aku mendapati sebuah pernyataan menarik yang disampaikan dengan lugas dan kokoh oleh seorang teman pengguna akun mikroblog. Jujur aku kagum dan tertarik menirunya. Kurang lebih pernyataannya seperti ini : "Saat saya berkeluarga nanti dan jika tayangan televisi kita belum juga berubah atau malah lebih buruk, lebih baik saya akan membawa keluarga dan anak-anak saya pulang kampung dan tinggal di pedalaman dimana tidak tercemar oleh siaran-siaran 'sampah' yang ada di televisi Indonesia. Benar, saya sudah sangat muak!!". Mengagumkan bukan ?.Terakhir, aku ingin bertanya padamu, jika tayangan televisi kita belum juga berubah atau malah lebih buruk, apa kau juga tertarik untuk meniru temanku seperti halnya diriku ? (*)

*) Semarang, 6 Januari 2014

4 komentar: