Sabtu, 09 Agustus 2014

Membaca

"Bukankah seharusnya semua muslim tahu, bahwa ayat pertama yang diturunkan dalam kitab suci berbunyi : bacalah. Kebiasaan membaca sungguh seharusnya milik kami. Milik kami ya Allah"

Dua bulan yang lalu, tepatnya tanggal 5 Juni ia mengirim pesan singkat padaku. Intinya seperti ini : ia mengingatkan aku bahwa hari itu –tanggal 5 Juni- ia sedang  berulang tahun, lalu ia menanyakan kado apa yang akan aku berikan padanya. “Mas hari ini aku ulang tahun lho, mau ngasih kado apa ?” begitulah ia mengingatkan aku untuk tidak lupa mengucapkan selamat  padanya. Sebetulnya, tanpa diingatkan pun aku tahu bahwa hari itu ia berulang tahun (kebetulan tanggal ulang tahun kami berdekatan, jadi aku gampang mengingatnya). Lalu aku pun membalas pesan singkat itu dengan ucapan selamat, beberapa nasihat, dan juga doa-doa. Lalu aku menawarinya kado berupa buku bacaan.
Kenapa buku ? kau tahu, sejak dulu aku selalu meyakini bahwa anak yang sejak dini dibiasakan membaca, saat tumbuh besar nanti ia akan berkembang menjadi pribadi yang berkarakter. Atau setidaknya, suatu saat nanti ia memiliki wawasan yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan teman-teman seusianya. Tapi sayangnya ia menolak. Dibandingkan dengan buku bacaan, ia lebih suka dibelikan jersey tim Negara Argentina, tim favoritnya di Piala Dunia 2014. Meski demikian, aku tak peduli, aku tetap saja membelikan ia buku bacaan dan memaksanya untuk membacanya.

Tadi itu, aku sedang bercerita tentang adikku. Usianya baru 14, ia pelajar kelas 3 SMP. Kau tahu, saat ini pelajar kita sedang mengalami krisis moral. Solusi jitu untuk masalah tersebut, menurut menteri Pendidikan M. Nuh, adalah menambah porsi pelajaran agama dan budi pekerti. Lalu dengan dasar pemikiran tersebut Pak Menteri mengintruksikan orang-orang pendidikan untuk menyusun Kurikulum 2013. Aku kira Kurikulum 2013 lebih tepat disebut sebagai solusi ajaib yang sangat dipaksakan. Kurikulum pendidikan kita berkali-kali berubah, tapi nyatanya situasi tidak pernah berubah. Jika masalahnya (misalnya) adalah para pelajar suka tawuran, solusinya adalah jadikan para pelajar tahu bagaimana hidup bersama orang lain secara damai dan tahu bagaimana menggunakan akal sehat. Setidaknya buatlah mereka menyukai bacaan-bacan bermutu ketimbang tawuran.
Kau tahu, di negara-negara maju seperti Jepang budaya membaca masyarakatnya sangat luar biasa. Di kereta, di  bus, di halte dsb mereka selalu menyampatkan untuk membaca. Budaya membaca masyarakat Jepang yang tinggi, merupakan efek timbal balik dari budaya menulis. Sejak sekolah dasar, Jepang sudah menekankan budaya menulis kepada anak-anak. Dalam waktu tertentu, anak-anak SD sudah biasa mendapatkan tugas ‘sakubun’ (red : mengarang). Misalnya, saat libur musim panas, musim dingin, atau libur kenaikan kelas, selalu ada tugas mengarang tentang kegiatan positif apa saja yang mereka lakukan selama liburan. Contoh lainnya lagi, saat hari ayah atau hari ibu, anak-anak SD ditugaskan untuk menulis kesan pada ayah dan ibu mereka. Lalu hasil karangan tersebut, mereka presentasikan di depan kelas, di hadapan guru dan teman-teman mereka. Ketika mereka akan lulus SD, mereka ditugaskan untuk mengarang impian atau cita-cita ketika mereka dewasa kelak. Uniknya, tulisan mereka ini didokumentasikan dalam bentuk buku dan disimpan dengan baik oleh pihak sekolah. Sehingga saat dewasa nanti, kapan pun mereka bisa bernostalgia dengan impian masa kanak-kanak mereka. Aku kira, budaya pendidikan mereka sangat luar biasa. Sejak kecil, karakter mereka sudah dibentuk melalui budaya menulis dan membaca.
Bagaimana di Indonesia ? di Indonesia, apakah kebiasaan membaca ada ? apa kau pernah melihat antrian yang mengular panjang di depan perpustakaan seperti halnya di negeri Jepang sana ? anak-anak remaja, apakah lebih suka menghabiskan waktu dengan membaca ? orang tua, orang dewasa, apakah lebih suka menghabiskan waktu dengan membaca ? Jika melihat lingkungan di sekitar kita, aku kira kau punya jawaban yang sama denganku, budaya membaca kita sangat menyedihkan. 

Masih tentang membaca, aku teringat dengan artikel yang ditulis oleh seorang sastrawan nasional pada kolom artikel Jawa Pos –aku lupa edisi keberapa-.  Satrawan tersebut menulis kisah tentang dedikasi luar biasa seorang guru bernama Gus Mush. Gus Mush –jangan samakan ia dengan Gus Mustofa Bisri Rembang- adalah seorang guru di SMA An-nuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, Jawa  Timur. Untuk meningkatkan kemampuan membaca siswa-siswanya, Gus Mus membuat kumpulan-kumpulan cerpen berisi karya para penulis terbaik yang ia seleksi untuk kepentingan KBM di sekolahnya. Jadi ia mengumpulkan cerpen-cerpen penulis terbaik kemudian ia rangkum menjadi sebuah buku. Lalu mencetaknya untuk dibagikan pada siswanya. Dengan menyeleksi cerpen-cerpen tersebut, ia ingin agar siswanya dapat ‘mengkonsumsi’ karya yang memang benar-benar bergizi. Oia, perlu kau ketahui, Gus Mus adalah lulusan salah satu Universitas di Belanda. Beliau penerima beasiswa Erasmus Mundus –salah satu beasiswa bergengsi di Uni Eropa- 
Terakhir, aku ingin mengucapkan selamat kepada bangsa Indonesia yang sebentar lagi akan memiliki presiden baru. Entah nanti Pak Jokowi atau Pak Prabowo yang akan ditetapkan sebagai presiden, aku berharap pada kabinet barunya nanti, presiden baru kita akan menunjuk Menteri Pendidikan yang tahu bagaimana cara membuat masyarakat Indonesia suka membaca buku. Bukan menteri yang pandai menyusun kurikulum-kurikulum baru yang membingungkan.  Dengan adanya presiden baru, itu artinya akan ada beberapa kemungkinan situasi yang kita hadapi beberapa tahun kedepan. Situasi bisa semakin baik, bisa diam di tempat atau bahkan semakin buruk. Namun, seperti apa pun situasi yang akan kita hadapi, semoga masyarakat Indonesia –terutama para pelajar- akan selalu sanggup menyisihkan sebagian penghasilan dan uang jajannya untuk membeli buku dan bersedia menyisihkan waktu untuk membacanya. Iya, aku sangat berharap beberapa tahun kedepan, suatu masyarakat dengan kecenderungan budaya membaca dan menulis akan kita jumpai di tanah air Indonesia. (*)

*) Semarang, 8 Agustus 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar